Rabu, 30 Juni 2010
Ketika Sintren Tak Lagi Berdaya Magis
Bagi masyarakat Pantura atau pantai utara Jawa, Sintren bukanlah hal asing dalam keseharian mereka. Sintren adalah satu hiburan rakyat yang mulai muncul saat Jepang bercokol di nusantara. Namun ada pendapat lain yang menyatakan sintren, ternyata sudah dikenal sejak kolonialisme belanda mencengkeramkan kukunya di bumi Jawa.
Sintren sebenarnya merupakan sebuah tarian yang berbau mistis dan berdaya magis. Tarian sintren bersumber dari cerita cinta kasih Putri Sulasih dan Raden Sulandono.
Tersebutlah kisah Raden Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Saat dewasa Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso. Akhirnya Raden Sulandono pergi bertapa dan putri Sulasih memilih menjadi penari. Meski demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Pertemuan tersebut ternyata diatur oleh sang ibu, Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula Raden Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Raden Sulandono.
Sejak saat itulah setiap pagelaran sintren, sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya. Namun banyak catatan untuk menjaga kesucian dan kesakralan tarian sintren, diantaranya sang penari haruslah masih belia dan suci. Ini syarat utama agar roh yang datang justru mampu mempercantik tampilan raga si penari sehingga setiap gerakannya juga mengandung daya magis.
Tarian sintren baru bisa dimulai ketika kurungan ayam yang menjadi naungan penari dibuka. Tarian akan terus berlangsung selama penari masih menggunakan kaca mata hitam dan musik berlagu. Tarian akan terhenti ketika ada penonton yang melempar koin (uang logam) atau kain (baju) dan mengenai penari. Namun tarian bisa segera dilanjutkan setelah pawang memberikan mantera barunya kepada sintren.
Biasanya ada 4 tahapan tarian dalam sebuah pertunjukan sintren. Tarian sintren biasanya diiringi sejumlah gending khas berlanggam pantura dengan diiringi bunyi gong, kecrekan, kendang. Namun seiring perkembangan kini musiknya juga dilengkapi iringan melodi gitar.
Pelengkap akhir sebuah cerita dalam tarian sintren adalah bodor atau penari pedamping yang berfungsi sebagai penyegar suasana dengan gerakan komedi atau lawak. Sehingga tarian bisa terkesan lucu dimata para penonton.
Gerakan zaman yang cepat dan membuat semua menjadi instant pada kenyataannya juga menyurutkan kehadiran sintren sebagai satu hiburan rakyat tradisional. Sintren kini lebih banyak diminati bukan sekedar sebagai penghargaan sebuah seni tapi lebih pada kaidah hiburan semata.
Unsur magis berdaya gaib-pun bergeser punah. Kini sintren bukan lagi dimainkan remaja lugu nan suci. Sebaliknya justru terkesan penari manapun bisa melakukannya asalkan ada yang nanggap. Tidak ada lagi pakem yang wajib dipatuhi sang penari ketika bersiap mementaskan tokoh penari seperti puasa atau belum tersentuh lawan jenis. Kini semua bisa ditawar, karena yang dipentingkan shanya hiburan semata yang bisa direkayasa dengan berpura-pura terasuki roh bidadari. Tidak heran sebuah pertunjukan sintren pada akhirnya harus berakhir hambar.
Merasuknya musik dangdut dengan peralatan lengkap juga turut menyudutkan keberadaan sintren sebagai sebuah media hiburan. Kesan modernisasi, pada kenyataannya justru mengikis kesenian-kesenian tua yang kini mulai hilang. Penonton lebih menyenangi gemuruh dan riuhnya alunan musik dangdut berikut gerakan erotis sang penyanyi ketimbang menikmati gerakan tarian roh sang sintren.
Alasan inilah yang membuat kesenian asli pantura ini kini mulai sulit ditemui termasuk dibasis-basis daerah sintren seperti Indramayu, Cirebon, Brebes maupun Tegal. Ironis memang saat banyak produk dan kesenian serta budaya kita diaku negeri tetangga, dan kita berteriak merasa terancam. Justru disisi lain kita mengabaikan kesenian dan budaya lama yang kini makin tergusur…. Lantas bagaimana warisan ini bisa terjaga untuk anak cucu kita ?.
Sudah sepantasnya kita kembali belajar mencintai dan mengenali aset dan kekayaan seni negeri sendiri karena bukan tidak mungkin seni budaya ini merupakan harta karun yang memang harus dan perlu digali untuk dilestarikan sebagai aset kekayaan negeri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar