Senin, 23 Mei 2011

Keris adalah Lambang Kedigdayaan Ksatria Nusantara

Di pendopo agung Keraton Singosari, tiga prajurit utusan Kubilai Khan meminta kerajaan-kerajaan di Jawa takluk dan membayar upeti. Saat itu, ketangguhan pasukan berkuda Mongolia tidak tertandingi. Konon, mendengar namanya saja para raja gemetar ketakutan.

Prabu Kertanegara tahu hal ini. Raja Singosari ini juga tahu akibatnya jika menolak permintaan Kubilai Khan. Tapi dia tahu kedaulatan dan harga diri memang harus dijaga dengan darah dan nyawa. Seluruh pendopo pun hening, terdiam menunggu keputusan sang raja.

Raja gagah keturunan Ken Arok itu berjalan mendekati utusan Mongol yang sombong. Mereka jumawa, merasa tidak pernah terkalahkan di kolong langit.

Dengan ringan, Kertanegara mencabut keris pusaka Singosari dari warangkanya. Lebih cepat dari kilat, keris itu menebas telinga Meng Ki, salah satu utusan Negeri Mongol. Ini jawaban Kertanegara atas penghinaan Mongol.

Tanpa bicara, kerisnya sudah bicara. Singosari menolak tunduk pada Mongol. Rakyat Singosari tidak gentar pada tentara Mongol yang katanya tidak terkalahkan. Silakan datang, maka seluruh ksatria Singosari akan melawan.

Siapa sangka jika adegan di abad ke-13 itu turut menentukan alur berdirinya bangsa Indonesia. Jika saat itu, Kertanegara memilih tetap menyarungkan kerisnya, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Mungkin Majapahit sebagai penerus Singosari tidak akan pernah berdiri. Tidak akan ada kisah Hayam Wuruk serta Gajah Mada dan Sumpah Palapa. Tapi hari itu adalah takdir, sudah menjadi keinginan yang Kuasa Kertanegara mencabut kerisnya.

Sama seperti filosofi keris. Baik bilah lurus atau luk, semuanya memiliki ujung tajam yang mengarah ke atas. Melambangkan semua kehidupan ini mengarah pada satu tujuan akhir, takdir dan akhirat.

Keris pada masanya adalah pelengkap kehidupan masyarakat. Bukan hanya di Jawa, keris digunakan di seluruh Nusantara. Di Bali, Kalimantan, Sumatera, hingga Sulawesi. Sehingga salah jika mengidentikan keris dengan budaya Jawa.

Keris adalah budaya Nusantara. Keris sama tuanya dengan kebudayaan logam di Nusantara. Tahun 1416, Ma Huan salah satu anggota ekspedisi Cheng Ho menyebutkan dalam catatannya, orang-orang Majapahit selalu mengenakan belati yang diselipkan pada ikat pinggang. Ma Huan cukup kagum dengan belati khas Jawa yang diketahui sebagai Keris. Dalam catatannya dia menjelaskan belati itu ditempa dengan baik dan diukir dengan indah. Hal ini menunjukan saat itu, para pandai besi di Indonesia sudah memiliki kemampuan yang tinggi.

Kisah lain diceritakan oleh seorang penjelajah Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16. Dia menuliskan keris digunakan oleh setiap pria di Pulau Jawa. Tidak peduli miskin atau kaya, mereka pasti memiliki sekurangnya sebilah keris.

"Setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya. Tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal," tulis Pires.

Keris untuk masyarakat kebanyakan mungkin ditempa dari besi atau baja biasa. Tapi bagi para ksatria dan bangsawan, hanya logam terbaik yang dicampur untuk bahan dasarnya. Diketahui ada beberapa keris yang dibuat dari batu meteorit yang memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga.

Para ksatria dan bangsawan hanya memesan keris dari pandai besi yang dipanggil empu. Hanya empu terbaik yang mampu menghasilkan keris terbaik. Saat itu membentuk sebongkah logam menjadi keris tidak hanya melibatkan bara dan palu, tapi jiwa dan semangat. Pembuatannya pun bukan dalam hitungan minggu, tetapi tahunan.

Siapa yang tidak kenal dengan kisah Empu Gandring dan keris pesanan Ken Arok. Keris itu pula yang menjadi alat pembantu berdirinya dinasti Rajasa, yang menurunkan silsilah raja-raja Jawa. Sejarah mencatat, hidup para pelaku dinasti ini harus berakhir tragis di ujung keris yang sama.

Keris secara garis besar terdiri dari bilah atau daun keris. Ini adalah bagian paling penting dari sebuah keris. Selain itu ada hulu atau pegangan, ganja atau penopang dan warangka atau sarung keris. Bentuk bilah atau dhapur keris mencerminkan estetika dan identitas keris itu. Bilah keris terbagi dua, yang lurus atau berkelok atau luk. Luk selalu berjumlah ganjil, tidak pernah genap. Paling sedikit ada tiga lekukan, paling banyak 13 lekukan. Jika lebih atau kurang dari itu dianggap tidak lazim.

Sedangkan hulu dan warangka biasanya terbuat dari kayu, logam atau gading. Seringkali dihias dengan logam mulia dan batu berharga, sesuai tingkat sosial pemiliknya. Sama seperti bilah, kedua bagian ini juga sering dihias indah.

Keris yang dibuat untuk kalangan keraton seringkali ditambahi gelar Kyai. Biasanya ada kondisi tertentu yang melatarbelakangi pembuatan sebuah keris di keraton. Tidak hanya ancaman peperangan, kondisi sosial politik pada masa itu juga bisa dijadikan acuan pembuatan keris. Latar belakang seperti ini dinamakan tangguh keris. Ada juga keris yang sejak awal pembuatannya menyiratkan keberuntungan atau kesialan bagi pemiliknya.

Kyai Condong Campur misalnya, sebuah keris pusaka milik keraton Majapahit. Condong Campur merupakan suatu perlambang keinginan untuk menyatukan perbedaan. Condong berarti miring yang mengarah ke suatu titik, yang berarti keberpihakan atau keinginan. Sedangkan campur berarti menjadi satu atau perpaduan. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan masyarakat Majapahit yang heterogen. Seperti diketahui, Majapahit saat itu menguasai seluruh Nusantara dengan banyak kerajaan kecil dan suku-suku di bawahnya. Muncullah keinginan untuk menyatukan berbagai perbedaan ini.

Ada lagi kisah Keris bernama Keris Kyai Setan Kober. Sejak awal keris pusaka ini diramalkan akan membawa kesialan dan petaka bagi pemiliknya. Keris ini milik Arya Penangsang atau Arya Jipang, bupati Jipang Panolan yang dikenal sakti madraguna. Dialah yang membunuh Sultan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549.

Arya Jipang lalu bertempur dengan Danang Sutawijaya, yang kelak menjadi Sultan Mataram yang pertama. Saat itu pertempuran berjalan sengit. Tombak Sutawijaya berhasil melukai perut Arya Jipang, hingga ususnya terburai. Tapi Arya Jipang masih melawan, ususnya yang keluar dari perut, dibelitkannya ke warangka keris pusaka miliknya. Arya Jipang terus memberikan perlawanan sengit. Namun saat mencabut keris Kyai Setan Kober, keris ini malah menyobek ususnya sendiri.

Sutawijaya kagum dengan keperkasaan Arya Jipang. Untuk menghormati lawannya itu, Sutawijaya membelitkan melati pada warangka kerisnya. Melati melambangkan usus Arya Jipang yang terburai. Gaya busana itu masih digunakan hingga kini, setiap pengantin Jawa merangkaikan melati pada kerisnya. Ini sebenarnya diilhami dari kematian Arya Jipang yang tewas karena kerisnya sendiri.

Keris pun digunakan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Pangerang Diponegoro memiliki beberapa keris pusaka. Salah satunya adalah Kyai Omyang. Keris ini memiliki 21 luk atau lekukan, dipercaya merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kini keris tesebut ditaruh di Museum Sasana Wiratama, Yogyakarta.

Cerita kedigjayaan para ksatria dengan kerisnya memang tinggal masa lalu. Senapan dan mesiu menggantikan fungsi keris sebagai senjata. Ilmu kanarugan dan silat, perlahan terkikis bela diri dari luar negeri semacam krav maga dan yongmodo. Tapi bukan berarti keris punah.

Fungsi budaya keris sebagai mahakarya budaya Indonesia terus hidup. Kini keris sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.

Korps Marinir TNI AL memasukan keris dalam logo pasukan baret ungu tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tupoksi pasukan Marinir untuk melakukan penyerbuan amphibi dari laut. Beberapa kesatuan TNI yang lain juga melakukan hal yang sama.

"Keris dan ombak melambangkan Marinir adalah penusuk dari laut," ujar Komandan Korp Marinir saat itu, Mayjen Djunaidi Djahri di Mabes AL, Cilangkap.

Keris masih digunakan sebagai pelengkap busana tradisional. Dalam busana pengantin Jawa, pengantin laki-laki didandani seperti bangsawan, lengkap dengan keris di punggungnya.

Di kalangan budayawan dan kolektor, keris-keris pusaka masih terus diburu. Harganya mencapai puluhan juta, hingga ratusan juta. Semakin baik dan semakin tua keris, harganya tentu makin mahal. Namun harga bukan masalah bagi para kolektor ini. Mendapatkan keris yang baik lebih tak ternilai harganya.

Fadli Zon salah satunya. Politisi dan budayawan ini mengoleksi ratusan keris dan barang-barang kuno lainnya. Ratusan keris itu tersimpan rapi di Fadli Zon Library di bilangan Benhil, Jakarta Pusat. Koleksi kerisnya berasal dari seluruh Nusantara, mulai keris Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur ada di sini. Beberapa keris sudah berusia ratusan tahun. Harganya? Mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.

"Ini warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Keris ada di seluruh Nusantara. Ini merupakan budaya bangsa," kata Ketua Iluni Fakultas Ilmu Budaya UI ini saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.

Bulan Juni 2010 lalu, pameran "Keris for the World" digelar di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Pameran ini cukup sukses mengumpulkan keris-keris dari seantero Nusantara. Pengunjung pameran juga cukup ramai, bukan hanya kolektor dan budayawan, tetapi juga masyarakat umum. Ke depan tentu saja, pameran serupa perlu digelar kembali untuk semakin memperkenalkan akar budaya Indonesia ini pada masyarakat Indonesia.

Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) juga baru saja menyelesaikan Kongres pertama di Hotel Kusuma Sahid, Solo, Kamis (21/4/2011) lalu. Mantan Menakertrans, Erman Suparno, terpilih sebagai Ketua Umum SNKI. Erman menjanjikan selama lima tahun kedepan SNKI akan menjadi organisasi legal yang tertata. Pembenahan manajemen organisasi secara multak harus dilakukan agar mampu menjadi wadah yang memadai untuk mengelola keris yang sudah diakui badan pendidikan dan sosial budaya PBB, UNESCO, sebagai warisan dunia tersebut.

"Pemerintah harus lebih berperan aktif turut melestarikan keris sebagai ikon wisata. Peran aktif pemerintah selama ini memang perlu dihargai sehingga mampu mengangkat keris sebagai warisan dunia, namun mestinya masih bisa ditingkatkan lagi," katanya pada wartawan.

Keris adalah mahakarya Indonesia. Filosofis keris yang mengajarkan sifat ksatria, keluhuran budi dan keberanian, masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Termasuk menyatukan berbagai budaya tanpa menghilangkan identitas budaya tersebut. Sama seperti yang diajarkan Kyai Condong Campur, ratusan tahun lalu.


Salam Djimodji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar