Hepatitis C : Menyerang bagaikan teroris
Hepatitis C menjadi perhatian khusus karena selain belum ada vaksin dan obat yang benar-benar efektif, virus hepatitis C pandai mengecoh dan berkembang tanpa diketahui sampai mencapai tahap berbahaya. Misalnya, kadar SGOT dan SGPT yang dimanfaatkan untuk pemeriksaan penyaring, terkadang nampak dalam rentang nilai normal atau hanya sedikit meningkat, padahal hati penderita sudah digerogoti virus ganas tersebut. Pada organ hati telah terjadi fibrosis, yaitu terbentuknya jaringan parut yang menggantikan sel-sel hati yang telah rusak. Pada awalnya, hati membentuk jaringan parut untuk melindungi dirinya dari peradangan,namun karena beratnya kerusakan, jaringan parut yang terbentuk pun semakin banyak sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, jaringan hati yang sehat tidak cukup untuk melakukan fungsi metabolisme, detoksifikasi dan fungsi lainnya untuk menjaga agar tubuh tetap sehat.
Melihat bagaimana virus menginfeksi, dan apa yang terjadi pada tahaptahap infeksi berlangsung, maka kita dapat memahami bagaimana virus ini dapat bertahan dari serangan sistem kekebalan tubuh maupun obat.Walaupun kondisi setiap pasien dan virus penyebabnya berbeda-beda, tahapan perkembangan infeksi virus adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Replikasi/Perkembangbiakan virus
Inilah awal dari infeksi, virus mengeluarkan materi genetik DNA atau RNA untuk melakukan replikasi atau perkembangbiakan. Sistem kekebalan tubuh menafsirkan virus sebagai antigen dan akan mengeluarkan antibodi untuk menyerang balik. Mungkin tidak ada gejala yang dirasakan penderita, tetapi pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan terjadinya perubahan sejumlah penanda serum (seromarker) dan kadar enzim hati di dalam darah.
Tahap 2: Prodromal phase (timbul gejala penyakit)
Virus telah berkembang biak dan menginfeksi sel sehat yang lain dalam jumlah lebih banyak. Sistem kekebalan tubuh melakukan perlawanan yang lebih keras, dengan mengerahkan “serdadu� andalan sehingga kerusakan semakin meluas. Penderita mulai merasakan gangguan nafsu makan, mual, pusing, kehilangan kemampuan indera pengecap, lesu, demam, gatal, dan gangguan pencernaan.
Tahap 3: Icteric phase (perubahan warna urin dan tinja)
Serdadu sistem pertahanan tubuh telah dapat menguasai medan pertempuran. Sampah akibat pertempuran tersebut menumpuk dan belum sempat dibersihkan. Sebagian akan terbawa bersama aliran darah, sehingga terlihat dalam bentuk perubahan karena urin menjadi kuning tua seperti, dan tinja berwarna lebih terang.
Obat-obat baru memberikan harapan walaupun hasilnya belum memuaskan
Pada Konferensi Internasional ke 15 APASL (Asia Pacific Association to the study of the Liver) yang berlangsung tanggal 18-21 Agustus 2005 yang lalu, diungkapkan oleh Profesor Michael P. Manns, ahli penyakit liver pada Medical School of Hannover, Jerman, bahwa banyak obat baru yang muncul. Dahulu, pengobatan hepatitis bersifat tunggal, tetapi
sekarang mulai digunakan terapi kombinasi untuk mendapatkan hasil pengobatan lebih efektif.
Di pasaran, telah tersedia berbagai macam obat antivirus. Ada yang bekerja menghambat replikasi virus, dengan menghambat pembentukan protein dan enzim yang dibutuhkan virus untuk perkembangbiakannya.Ada pula yang bekerja sebagai imunomodulator, yaitu selain aktif membasmi virus juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Manns, hingga saat ini belum ada satu pun obat antivirus yang bisa memusnahkan total virus hepatitis. Interferon termasuk dalam pengobatan yang bekerja sebagai immunomodulator. Manns melihat interferon kelak dapat menjadi basis terapi yang dapat dikombinasikan dengan obat lain.
Sebenarnya interferon adalah salah satu “serdadu� sistem kekebalan tubuh kelompok sitokin, yang diproduksi oleh tubuh bila mengetahui ada virus yang menempel pada permukaan sel sebelum masuk untuk menginfeksi. Antibodi dalam sirkulasi/darah (IgG) akan mencegah virus menempel, proses ini merupakan mekanisme pencegahan yang penting terhadap infeksi. Bila virus tersebut lolos, dan menginfeksi, selama tubuh akan melepas interferon untuk meresponnya. Interferon merupakan senyawa glikoprotein yang mengandung inti, dan dihasilkan oleh berbagai sel tubuh. Interferon bekerja memperkuat sel-sel di sekitar jaringan yang terinfeksi virus sehingga menjadi kebal terhadap virus. Di samping itu, interferon mengaktifkan sel pembunuh NKC (Natural Killer Cell) yang akan menghancurkan sel yang terinfeksi virus, yang dapat dikenali dari perubahan pada permukaannya.
Interferon sebenarnya bukan obat baru dalam pengobatan hepatitis, dan sudah dikenal sejak tahun 1989, namun efektivitas pengobatannnya masih rendah, yaitu sekitar 20 persen untuk hepatitis B dan 11-19 persen untuk hepatitis C.
Setelah dikembangkan menjadi bentuk pegylated interferon 2a dan pegylated interferon alpha 2b terjadi peningkatan efektivitas pengobatan menjadi 40-50 persen. Perbedaannya terletak pada kestabilan protein yang menjadi inti interferon. Dibandingkan dengan yang konvensional, protein yang pegylated cenderung lebih stabil sehingga dapat aktif lebih lama membunuh virus. Pegylated interferon dibuat dari sel hewan yang terinfeksi virus, yang dikembangkan lagi melalui proses rumit menjadi bentuk pegylated yang lebih stabil. Karena itu harganya sangat mahal. Bayangkan saja, harga pegylated
interferon alpha 2a untuk sekali suntik adalah Rp 2 juta, dengan dosis sekali seminggu, maka untuk keperluan pengobatan selama 48 minggu akan membutuhkan biaya sebesar Rp 96 juta. Efektivitas interferon tergantung pada kemampuan untuk memacu sistem kekebalan tubuh (imunomodulator), karena itu usaha memacu meningkatkan kemampuan kekebalan tubuh menjadi lebih tepat dipikirkan daripada mencari obat baru dengan harga tinggi dan efektivitas pengobatan rendah. Itulah yang perlu diusahakan, memberikan obat pembunuh virus atau memperkuat organ hati.
Melacak sebelum terlambat dan agar bidikan lebih jitu
Mengetahui musuh dan kondisi diri sendiri menurut Sun Tzu, pakar seni perang Cina kuno, adalah salah satu unsur penting untuk memenangkan perang. Untuk mendeteksi adanya virus hepatitis C, selain pemeriksaan antigen-antibodi (pemeriksaan imunoserologi), disarankan pemeriksaan asam nukleat virus (DNA atau RNA) dengan teknik molekuler yang sangat membantu untuk diagnosis lebih dini. Pemeriksaan imunoserologi pertama kali ditemukan oleh Kary Mullis yang bekerja di Cetus, perusahaan bioteknologi di Emeryville, California, Amerika Serikat. Pada tahun 1993 ia mendapat hadiah Nobel dalam bidang kimia, dan Japan Prize. Pemeriksaan molekuler untuk hepatitis C (HCV-RNA) terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1. Untuk mendeteksi virus. Pemeriksaan kualitatif untuk mengetahui ada atau tidaknya virus hepatitis tersebut.
2. Untuk mengetahui jumlah virus. Tes kuantitatif yang bermanfaat untuk memperkirakan jumlah virus
3. Pemeriksaan genotipe virus. Untuk mengetahui jenis virus (genotipe dan subgenotipe) yang menginfeksi.
Ketiga tes yang berbeda tersebut mempunyai manfaat yang berbeda. Misalnya tes kualitatif berguna untuk memastikan temuan pada uji saring antibodi virus. Tes kuantitatif berguna untuk monitoring pengobatan. Sedangkan tes genotipe diperlukan sebelum memulai pengobatan, lamanya pengobatan tergantung dari tipe virus yang menginfeksi. Misalnya, infeksi oleh HCV genotipe 1 memerlukan pengobatan kombinasi selama 12 bulan, sedangkan genotipe di luar genotipe 1 memerlukan pengobatan kombinasi 6 bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar